Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkannya akad nikah

By Zahid

 

  1. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkannya akad nikah. Para ahli hukum berpendapat bahwa perkawinan hanya dapat dinyatakan “vernietigbaar” ( dapat dibatalkan ), artinya bahwa perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim atas dasar-dasar yang diajukan penuntut yang ditunjuk oleh undang-undang.Jadi, perkawinan tidak dapat dinyatakan “nietigbaar” atau batal demi hukum karena kalau demikian halnya, maka tak menjamin kepastian hukum. Perkawinan dinyatakan batal setelah dilangsungkannya perkawinan.

Hal ini disebabkan karena apabila suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat yang diharuskan oleh undang-undang maka perkawinan itu baru dibatalkan sesudah diajukan gugat pembatalan di muka hakim[1].Dengan demikian suatu perkawinan tidak dapat dinyatakan batal demi hukum (nietigbaar)[2].

Mengenai batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 22 – Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 22 UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

  • Pembatalan Perkawinan menurut KUHPerdata

Alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dipandang kurang lengkap karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut. Apabila ditafsirkan secara mendalam, maka Pasal 66 UU Perkawinan dapat ditafsirkan sebagai hal-hal mengenai perkawinan yang diatur di dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perkawinan [3].

Dalam KUH Perdata diatur secara terperinci alasan-alasan permohonan pembatalan perkawinan berserta pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagai berikut :

  1. Karena perkawinan rangkap (seperti yang diatur pada Pasal 86 KUH Perdata), yang dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh [4]:
  • Suami/istri dari perkawinan pertama.
  • Suami/istri dari perkawinan kedua.
  • Keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
  • Semua orang yang berkepentingan (misalnya anak dari perkawinan pertama).
  •  
  1. Karena tidak ada persetujuan bebas antara suami istri (Pasal 87 KUHPerdata), yang dapat dimintakan pembatalan oleh suami/istri itu sendiri.
  2. Karena salah satu pihak tidak cakap memberikan persetujuan sebab di bawah pengampuan berdasarkan pikiran tak sehat (Pasal 88 KUHPerdata), yang dapat dimintakan pembatalan oleh :
  • Orang tua. Keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
  • Saudara-saudaranya.
  • Paman dan bibi.
  • Kurator/pengampunya.
  • Jaksa
  1. Karena salah satu pihak belum mempunyai umur tertentu dan tidak mendapat dispensasi untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 98 KUH Perdata), yang dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
  • Suami/istri itu sendiri.
  •  
  1. Karena masih ada hubungan kekeluargaan darah yang masih terlalu dekat.
  2. Karena salah pihak menjadi kawan zina/ overspel (Pasal 32 KUH Perdata).
  3. Karena perkawinan itu (sebagai perkawinan yang kedua kalinya) dilakukan dalam masa setahun setelah mereka berdua bercerai atau perkwinan itu merupakan perkawinan yang ketiga kalinya (sehubungan Pasal 33 KUH Perdata).

Alasan-alasan pembatalan perkawinan pada nomor 5,6, dan 7 dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :

  • Suami / istri itu sendiri.
  • Orang tua dari masing-masing suami / istri.
  • Keluarga sedarah menrut garis lurus ke atas.
  • Pihak yang berkepentingan.
  •  
  1. Karena tidak memperoleh izin dari pihak ketiga yang diperlukan untuk perkawinan ( seperti yang diatur pada Pasal 91 KUH Perdata ), yang dapat dimintakan pembatalan oleh mereka yang seharusnya  memberikan persetujuan kawin itu.
  2. Karena perkawinan itu tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan, misalnya Pejabat Catatan Sipil tidak berwenang dan lain sebagainya (Pasal 92 KUH Perdata). Yang dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
  • Suami/ istri itu sendiri
  • Orang tua masing-masing dari suami atau istri
  • Keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas dari masing-masing suami/istri
  • Wali/wali pengawas dari masing-masing suami/istri
  • Pihak-pihak yang berkepentingan atas perkawinan itu
  • Jaksa
  1. Karena perkawinan dilangsungkan, walaupun ada pencegahan perkawinan yang belum dicabut
  • Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat (Pasal 22-28 UU No 1 tahun 1974), ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.

Pasal 22 menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan [5]. Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pasal 27 UU Perkawinan menyebutkan bahwa;

  1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
  2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
  3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan[6].

Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. Pembatalan perkawinan bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan[7].

  1. Batalnya perkawinan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika Akad Nikah.
  2. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
  3. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
  4. Batalnya perkawinan karena hal –hal yang datang setelah akad.
  5. Bila salah seorang dari suami atau istri murtad atau keluar dari agama islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
  6. Jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musryk, maka akadnya batal.

Menurut Riduan Shahrani, sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau isterimurtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum Islam” [8]. Perkawinan yang putus demi hukum maksudnya karena perkawinan tersebut putus dengan sendirinya tetapi bukan dengan sendirinya seperti karena kematian yang sifatnya alamiah.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri[9].

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:

  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
  2. Suami atau istri.
  3. Pejabat yang berwenang dan yang ditunjuk oleh Undang-Undang.
  4. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukuk secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi setelah perkawinan itu putus.
  • Pembatalan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama[10]. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas halhal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.

Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaan lebih banyakdilakukan oleh pihak istri dari pada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya.

Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam[11].

Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapatdisamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitupula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.

Fasakh disebabkan oleh dua hal [12]:

  1. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.
  2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.

Beberapa faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh tersebut, ialah:

  1. Syiqaq Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus. Ketentuan tentang syiqaq ini terdapat dalam QS: an-Nisa ayat 35.
  2. Adanya cacat

Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani atau jiwa.

  1. Ketidakmampuan suami memberi nafkah
  2. Suami gaib ( al-mafqud ) adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui kemana perginya dan dimana keberadaannya dalam waktu yang lama.
  3. Dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan, sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian perkawinan.Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.

Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70 hingga Pasal 76. Pasal 70 menegaskan bahwa perkawinan batal apabila:

  1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang istri, sekalipun dari keempatnya itu dalam iddah talak Raj’i.
  2. Seseorang menikahi bekas isterinya yang di Li’annya.
  3. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis massa iddahnya.
  4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
  5. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam mempertegas bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

  1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
  2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya);
  3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
  4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang nomor 1 tahun 1974;
  5. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
  6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Adapun alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan pembatalan perkawinan menurut Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam adalah:

  1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
  2. Seorang suami atauisteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi 36 penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
  3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perceraian dilangsungkan. Disebutkan juga pada pasal ini, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kedudukan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

 

Spread the word

Open chat
1
Ingin konsultasi?