Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkannya akad nikah
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkannya akad nikah. Para ahli hukum berpendapat bahwa perkawinan hanya dapat dinyatakan “vernietigbaar” ( dapat dibatalkan ), artinya bahwa perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim atas dasar-dasar yang diajukan penuntut yang ditunjuk oleh undang-undang.Jadi, perkawinan tidak dapat dinyatakan “nietigbaar” atau batal demi hukum karena kalau demikian halnya, maka tak menjamin kepastian hukum. Perkawinan dinyatakan batal setelah dilangsungkannya perkawinan.
Hal ini disebabkan karena apabila suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat yang diharuskan oleh undang-undang maka perkawinan itu baru dibatalkan sesudah diajukan gugat pembatalan di muka hakim[1].Dengan demikian suatu perkawinan tidak dapat dinyatakan batal demi hukum (nietigbaar)[2].
Mengenai batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 22 – Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 22 UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dipandang kurang lengkap karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut. Apabila ditafsirkan secara mendalam, maka Pasal 66 UU Perkawinan dapat ditafsirkan sebagai hal-hal mengenai perkawinan yang diatur di dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perkawinan [3].
Dalam KUH Perdata diatur secara terperinci alasan-alasan permohonan pembatalan perkawinan berserta pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagai berikut :
Alasan-alasan pembatalan perkawinan pada nomor 5,6, dan 7 dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat (Pasal 22-28 UU No 1 tahun 1974), ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.
Pasal 22 menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan [5]. Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal 27 UU Perkawinan menyebutkan bahwa;
Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan[6].
Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. Pembatalan perkawinan bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan[7].
Menurut Riduan Shahrani, sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau isterimurtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum Islam” [8]. Perkawinan yang putus demi hukum maksudnya karena perkawinan tersebut putus dengan sendirinya tetapi bukan dengan sendirinya seperti karena kematian yang sifatnya alamiah.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri[9].
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:
Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama[10]. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas halhal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.
Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaan lebih banyakdilakukan oleh pihak istri dari pada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya.
Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam[11].
Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapatdisamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitupula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.
Fasakh disebabkan oleh dua hal [12]:
Beberapa faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh tersebut, ialah:
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani atau jiwa.
Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70 hingga Pasal 76. Pasal 70 menegaskan bahwa perkawinan batal apabila:
Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam mempertegas bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
Adapun alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan pembatalan perkawinan menurut Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam adalah:
Permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perceraian dilangsungkan. Disebutkan juga pada pasal ini, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kedudukan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.